Langsung ke konten utama

Catatan pendek "perenungan" baksos

Badan Tazkir Politeknik Negeri Manado (selanjutnya disebut BT), akan menggelar kegiatan Bakti Sosial (selanjutnya disebut baksos). Kegiatan ini sudah melekat menjadi tradisi yang secara turun temurun dilaksanakan setiap tahun, beberapa kalangan seolah sudah memfatwakan wajib untuk dilaksanakan, artinya sebuah kewajiban besar harus dilaksanakan dan dosa besar bila tidak dilaksanakan. Hal ini menarik untuk mendiskusikannya lagi, dengan memulai kembali beberapa pertanyaan seputar apa, mengapa, tujuan dan kesesuain tentang Baksos tersebut. Saya ingin mengemukakan beberapa fakta tentang seputaran baksos, berangkat dari fakta ini kemudian menjadi pembahasan catatan pendek ini, dari fakta ini sedikitnya menjadi hal yang cukup mengganggu fikiran saya selama 3 – 4 tahun belakangan, sudah lama hal ini direnungkan dan ingin dibicarakan, tapi hanya sedikit yang tersampaikan. Saat ini, waktu yang dianggap cukup tepat untuk dituangkan dalam catatan  pendek saya tentang baksos.  Beberapa fakta yang selama ini saya temukan, pertama : Baksos dijadikan kegiatan utama organisasi BT, kedua : Baksos dijadikan salah satu instrument utama dalam kaderisasi BT, ketiga : Kegiatan Baksos menghabiskan biaya yang cukup fantastis, keempat : Kegiatan Baksos melibatkan hampir 70% Mahasiswa baru, dan 90% Pengurus BT, dan sebagian Senior, alumni dan Simpatisan, dan kelima : Kegiatan Baksos pada faktanya selalu dilaksanakan diluar dari daerah Kota Manado. Fakta diatas sebagian mahasiswa pasti sudah mengetahuinya, dan cara menanggapi juga berbeda-beda.
Ada yang menanggapi dengan santai dan alasan yang sederhana, ‘bahwa memang sudah begitu’ ‘dari sononya’, itu merupakan bagian dari cara kerja organisasi ini, sudah merupakan taken for granted dan ada juga beberapa tidak terlalu serius menaggapi fakta tersebut. Saya ingin mencoba membuka sekali lagi ruang dialog tentang beberapa fakta diatas, yang beberapa kalangan menanggapinya secara sederhana, bagi saya tidak masalah argumentasinya apa, tapi menyederhanakan sesuatu bukanlah merupakah jawaban dari pertanyaan yang substansial.
Seharusnya kalau fakta diatas dianggap sederhana, kenapa kita harus mempersiapkan kegiatannya dengan begitu banyak menguras  waktu, tenaga,  dan fikiran. Saya bukan bermaksud untuk merumitkan hal yang sudah menjadi (aksioma), hal yang dianggap sederhana dibuat rumit. namun hanya mencoba mengajak teman-teman untuk merenungi hal ini sejenak. Dengan pertama-tama mengajukan beberapa pertanyaan dasar, yang kemudian bisa dimungkinkan sebuah kesempatan dan gagasan baru.
- Apa itu Baksos?
- kenapa harus ber-Baksos?
- Apa tujuannya?
- Sudahkah Baksos itu berkesesuain dengan apa yang ingin kita capai?
- Apakah jawaban kita tentang baksos sudah menjawab tentang pertanyaan kenapa kita harus ber-baksos?.
5 pertanyaan filosofis yang sering dilontarkan yang mungkin bisa saja hari ini sudah tidak lagi kita mempertanyakannya (aksioma), yang kita berfikir itu sudah menjadi keyakinan yang absolut, padahal pertanyaan tersebut adalah hal yang cukup penting untuk kita memahami Baksos tersebut, belum lagi kita mengajukan beberapa pertanyaan strategis tentang baksos .
- Apa yang menjadi latar belakang Baksos harus dibuat di luar dari daerah, dalam hal ini keluar dari wilayah Kota Manado.?
- Kenapa harus di luar daerah dari Kota Manado?
Saya sering mengajukan pertanyaan itu berulang-ulang setiap tahunnya dan jawabannya pun sama dan berulang-ulang. Ini menandakan bahwa kita hanya mendapatkan informasi tanpa mencoba memahami lebih apa dibalik agenda Baksos itu, dan hal ini juga cukup membuktikan bahwa kita hanya melakukan sesuatu yang sudah menjadi turun temurun, tanpa ada keinginan untuk mencoba memahami hal yang paling subtil di agendakan kegiatan tersebut. Dari pertanyaan yang diajukan, beragam jawaban yang saya dapati, seakan jawaban berhenti pada sebuah keyakinan, bahwa kita “manusia terpilih” yang dipilih oleh tuhan untuk berbagi kepada sesama, poin dari Tri dharma Mahasiswa Pengabdian terhadap Masyarakat. Dan sebuah tanggungan sejarah yang harus kita pegang teguh dan yang harus dipertahankan. (Apakah keyakinan itu sudah benar-benar adanya?, apakah kita sudah benar-benar menguji keyakinan-keyakinan itu?.).
bagi saya pribadi tidak menolak argumentasi tentang Baksos bahwa itu merupakan salah satu bentuk Pengabdian Masyarakat, tentang konsep “Manusia Terpilih” dan sebuah tradisi yang harus tetap dipertahankan”. Namun tidak salah juga kita kemudian mempertanyakan kembali argumentasi tadi, apakah benar begitu adanya atau kita keliru memahami Baksos tersebut?
Pertanyaannya apakah memang benar kita seperti yang dikirakan “Manusia Terpilih”, Apakah benar Baksos bisa kita kategorikan sebagai implementasi Tri Dharma Mahasiswa. Apakah kemudian kita memikul sebuah tanggung jawab sejarah, dengan mengasumsikan bahwa ketika tidak dilaksanakan kita merupakan bagian catatan hitam dalam sejarah BT?

a.       Manusia terpilih, apakah begitu adanya.?
Konsep manusia terpilih disini sering kita definisikan sebuah asumsi tentang konsep moral, bahwa ada manusia yang dianggap memiliki kelayakan dan memiliki kapasitas untuk merubah pandangan, tingkah laku yang dianggap melenceng dari ajaran-ajaran agama. Hal ini dianggap sesuatu yang menakjubkan ketika kita berkeyakinan bahwa ini misi suci yang harus dilaksanakan. Menjadi sesuatu yang cukup menggelikan ketika term itu ditarik dalam posisi binner, bahwa ada orang yang baik dan buruk, ada yang lurus dan bengkok, ada yang jauh dari ajaran agama dan ada yang begitu sudah mencapai puncak praktek dari ajaran agama.
Dalam konteks berkegiatan baksos itu sendiri kita sering dikhotbahkan dengan konsep manusia terpilih yang berkewajiban untuk melakukan dakwahnya di tempat yang dianggap jauh dari ajaran agama, dengan jargon untuk umat, dan tawaran surga yang kita begitu cepat terkesima dibuatnya. Dan begitu laku diantara beberapa orang yang begitu merindukan (surga) itu.
Kalaupun kita sedikit lebih jujur hal yang banyak kita lakukan dalam berkegiatan baksos bukanlah sebuah misi suci yang kita bawa, kita hanya sekedar mensucikan wisata kita, kita hanya mencari tempat-tempat baru untuk sekedar mencatatkan pengalaman bahwa kita pernah ber-Baksos dan disitu tempatnya. Dan kebanyakan tempat yang kita datangi ternyata tidak seperti yang kita asumsikan sebagaimana cheklist survey kelayakan lokasi. Kita terjebak dengan konsep lokasi jauh, konsep desa tertinggal, banyak anak tapi kurang mendapatkan pendidikan agama (kurangnya berdirinya tempat pengajian untuk anak-anak), atau hanya sekedar melihat banyaknya angka kegagalan akhlak dari pemuda kampung yang kita survey. Hal-hal itu merupakan bagian pertimbangan kita yang melihatnya dengan menggunakan sudut pandang kita, dan kemudian memastikan lokasi Baksos. Toh, kalau kita boleh jujur lagi, data hasil dari survey kitapun jauh dari yang kita prasangkakan.
Pertanyaannya apa yang menjadi tolak ukur kita dari konsep jauh dari kota, konsep desa tertinggal, dan kegagalan akhlak dari pemuda?.

b.      Tanggung Jawab Individu.
Salah satu poin dari tri darma mahasiswa adalah pengabdian terhadap masyarakat. Poin ini sering menjadi mantra yang sangat kuat mensugesti kalangan manusia dilingkungan akademis (mahasiswa) untuk terpanggil mengikuti baksos. Poin pengabdian terhadap masyarakat, secara merta dipahami bahwa kita sebagai makhluk social bertanggung jawab terhadap manusia lainnya. Itupun dipahami bahwa kita sebagai mahasiswa berpendidikan lebih, yang terdidik dari sebuah institusi pendidikan mempunyai sebuah kewajiban untuk melaksanakannya.
Namun, pada prakteknya kegiatan Baksos sering jauh dari sesuatu yang substansial diatas, yang ada dia hanya dibungkus semata dengan Bahasa-bahasa yang indah namun belakangan gagal dalam pelaksanaannya. Karena sudah bukan merupakan sebuah keterpanggilan hati nurani, namun terpaksakan dengan cara menakut-nakuti, (sertifikasi sering menjadi alat untuk menakuti). Belum lagi hal-hal yang kita temukan disana ternyata begitu banyak drama, alumnisisasi, seniorisasi, dan marah-marahisasi yang tak jelas, tak sesuai dengan pemahaman kita tentang baksos itu.
Asumsi yang menyatakan bahwa itu merupakan proses belajar, sesungguhnya prakteknya sudah jauh dari pemahaman tentang ‘proses belajar’, karena hal yang kita lakukan juga hanya mengulang tradisi, atau sekedar gagahan dengan menampilkan sosok yang otoriter, pemarah, dan penyuruh. Kalau kita mencoba merenungi kembali, bukankah kita sementara menyiapkan kader yang buas, mandek, malas mikir, dan kader yang menganggap bahwa ‘menyuruh’ dan ‘marah-marah’ adalah makanan pokok dalam kaderisasi di BT.
Saya mencoba menawarkan sebuah gagasan, bahwa baksos merupakan sebuah tanggung jawab individu, dimana mengajarkan kepada kita bagaiman cara membangun komunikasi, dan belajar tentang orang lain. Dengan orang lain kita akan mencoba belajar, dan mengasah kemampuan kita terhadap skill kompeten yang kita dapat selama dibangku kuliah.
Kita akan memahami bahwa ilmu yang kita dapatkan dibangku kuliah itu, apakah bisa terterima dimasyarakat atau kita mencoba belajar bagaimana cara meyakinkan skill dan kompeten yang kita miliki, dan apakah bisa bermanfaat terhadap orang lain?. Hal ini cukup rasional untuk menjadikannya sebuah dorongan kita untuk mengikuti setiap kegiatan organisasi dalam hal ini kegiatan baksos. Dengan memahami tanggung jawab kita sebagai individu, kita seutuhnya menjadi makhluk social, yang secara suka rela dan ikhlas dalam membantu masyarakat, dan kita melakukannya sesuai hati nurani kita, dengan tanggung jawab kita sebagai individu.

c.       Tanggung jawab sejarah.
Sejarah merupakan sesuatu yang harus kita pelajari dan pahami, karena dengan belajar sejarah sedikitnya kita bisa memahami kedepannya apa yang nantinya akan kita lakukan. Walaupun kadang masa depan tidak kita prediksikan hanya dengan membaca sejarah. karena masa depan sifatnya misteri, tidak mudah ditebak, dan kita hanya bisa membaca tanda-tanda saja. Meyakini tanda-tandanya juga belum cukup. Yang kita perlu adalah melakukan eksperimentasi-eksperimentasi untuk membuktikan dari tanda-tanda yang kita baca.
Kegiatan Baksos yang dilakukan oleh BT setidaknya mengalami beberapa penambahan-penambahan item kegiatan saja, namun kadang juga mengalami pengulangan yang sama seperti tahun-tahun kemarin.
Baksos dalam sejarahnya mengalami perubahan nama dari Wisata Dakwah (Wisda) berubah menjadi Bakti sosial (Baksos), perubahan nama dilakukan untuk sedikit merubah paradigma tentang tujuan dari Wisda tersebut. Wisda yang dilakukan ternyata diaanggap hanya melebihkan Wisata dibandingkan dakwahnya. Maka tahun 2008 terjadi perubahan nama kegiatan dari Wisda menjadi Baksos dengan harapan murni berbakti dan mengurangi wisata, ingat !!. bukan menghilangkan tapi mengurangi wisatanya saja. Ternyata argumentasi tadi paradoks dengan Baksos yang kita pahami mempunyai tujuan yang mulia. Ini menunjukkan bahwa kita tidak benar-benar berpihak pada bakti social.
Setidaknya kita ketahui bahwa kegiatan Wisda dan Baksos sudah lebih dari 20 kali dilaksanakan dan dipertahankan. Hal ini menjadikan baksos hukumnya wajib dilaksanakan karena dianggap (sudah darisononya begitu, sudah program BT begitu). Keyakinan terhadapnya menjadi wajib dilaksanakan dan menjadi nista dalam sejarah bila ditinggalkan.
Apakah baksos dipahami hanya mengejar eksistensi BT,atau hanya sekedar berwisata bersama saja?,
Kita perlu melakukan perenungan dengan membuka kembali lembar-lembar sejarah Baksos yang pernah dilaksanakan, lembaran yang kita buka, bukan merupakan lembaran kenangan hasil dari foto-foto hasil kegiatan, atau hal yang menjadi romantisme sejarah kita yang sudah pernah mengikuti Baksos, atau hanya sekedar pertarungan banyaknya Bintang-bintang. Bintang-bintang adalah jumlah keikutsertaan kita dalam mengikuti Baksos, banyaknya jumlah bintang menegaskan banyaknya berapa kali kita mengikuti baksos. Hal ini sering menjadi perbincangan di antara beberapa alumni yang hanya sekedar bahan pembicaraan saja. Saya tidak sama sekali mempermasalahkan itu, bahkan saya secara pribadi mendukung kita untuk melakukan kompetisi tentang keaktifan kita dalam kegiatan baksos karena itu bagian dari sesuatu yang kita anggap itu sebuah kewajiban, dan menjadi agenda kita untuk hanya sekedar kumpul-kumpul (reunian).
Catatan pendek (perenungan) diatas setidaknya sedikit sudah mewakili hati nurani pribadi saya, banyak yang ingin dituliskan dan perlu kita bicarakan secara sadar dan penuh tanggung jawab. Tulisan ini ditulis tentu dengan argumentasi, yang lahir dari pengalaman dan analisa saya selama 4 tahun kebelakang. Sudah menjadi tanggung jawab saya yang pernah hadir dan terlibat dalam setiap kegiatan Baksos.
Apa salahnya kemudian saya secara pribadi, bahkan mungkin beberapa orang juga mencoba mempertanyakan kembali kesesuaian antara tujuan Baksos dengan apa yang sudah kita lakukan. Ini menjadi penting untuk bisa dijadikan bahan evaluasi karena dengan begitu kita akan mencoba belajar menjadi Arif dan bijaksana; dan BT sebagai organisasi akan menjalankan kegiatan-kegiatannya sejalan dengan visi misinya, atau minimal tidak terlampau jauh dari visi misinya.
(Idris hz)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

November kenangan

Aku selalu menantikan hujan pada bulan November, kala hujan turun aku berlari dengan telanjang dada, dari ujung kampung ke sisi ujung lainnya. Aku selalu menengadahkan wajah ke langit, membiarkan hujan menerpa wajah ini. Wajah yang selalu bertanya akan mengapa hujan yang selalu turun di bulan november yang sebelum pertanyaanku dibungkam dengan jawaban sebegitu adanya, wajah yang tak pernah mengenal bahasa takut sebelum hujan dibicarakan dengan nada menakutkan menyerang bagai virus yang mematikan. Saat dewasa aku tak lagi bertelanjang dada, tak lagi tertarik pada sudut kampung dengan perayaan hujan. Saat hujan aku menikmati sudut kamarku, sembari merayakan kerinduan pada kekasih, kekasih yang dua hari telah kutemui, menulis pesan singkat rindu, menggambarkan kerinduan pada jumlah rintik hujan, tersipu, pipi merona, pada kekasih yang membalas pesan singkat menyambut rinduku. Kedewasaan menyapu ingatanku pada masa kanak-kanak, pada masa caraku merayakan hujan dan memahami kebahagiaan

Review film bohemian

Hingga jam begini masih terjrbak di rumah kopi, akhirnya bisa selesai review film Bohemian Rhapsody. (Amatir) Cekz sound!!! Saya sudah mentradisikan setiap hari minggu untuk menonton film yang sementara diputar di bioskop. Film Bohemian Rhapsody mendapatkan gilirannya diminggu ini, Film biopik yang mendramatisasikan Freddie Mercury Vokalis Band Queen, ingat Queen ingat Freddie. Penggambaran Freddie Mercury dalam film Bohemian Rhapsody yang sebelumnya digarap oleh Bryan Singer yang dipecat dan akhirnya digantikan oleh Dexter Fletcher. Sebelum menonton film ini, saya membaca review beberapa media yang menulis bahwa film yang menggambarkan sosok Freddy Mercury jauh dari kenyataannya. Karier awal bermusik, konflik teman-teman satu band, hingga konflik keluarga dianggap tidak utuh. Film tersebut dianggap hanya kesuksesan Rami Malek (pemeran Freddy) berakting, bahkan gigi tongkosnya Rami tak mirip, dan dianggap murahan. Sebelum menonton saya membaca reviewnya terlebih dahulu dari beberap

Ekspedisi Soputan

Ekspedisi Soputan Foto : Otw Soputan Foto : Pinus 1  2 Foto : camp Pinus 2 foto : Pinus 2 Foto : Pemandangan Soputan Foto : Pinus 2 Foto : Otw Puncak Soputan Foto : Soputan foto : tim ekspedisi Soputan Generasi 07 BTPNM foto : Soputan Foto : Otw Puncak Foto : Camp