Aku selalu menantikan hujan pada bulan November, kala hujan turun aku berlari dengan telanjang dada, dari ujung kampung ke sisi ujung lainnya.
Aku selalu menengadahkan wajah ke langit, membiarkan hujan menerpa wajah ini. Wajah yang selalu bertanya akan mengapa hujan yang selalu turun di bulan november yang sebelum pertanyaanku dibungkam dengan jawaban sebegitu adanya, wajah yang tak pernah mengenal bahasa takut sebelum hujan dibicarakan dengan nada menakutkan menyerang bagai virus yang mematikan.
Saat dewasa aku tak lagi bertelanjang dada, tak lagi tertarik pada sudut kampung dengan perayaan hujan.
Saat hujan aku menikmati sudut kamarku, sembari merayakan kerinduan pada kekasih, kekasih yang dua hari telah kutemui, menulis pesan singkat rindu, menggambarkan kerinduan pada jumlah rintik hujan, tersipu, pipi merona, pada kekasih yang membalas pesan singkat menyambut rinduku.
Kedewasaan menyapu ingatanku pada masa kanak-kanak, pada masa caraku merayakan hujan dan memahami kebahagiaan itu. Namun, Tak ada lagi takut yang terpahami, tak ada lagi pertanyaan yang dibungkam, fase dewasa segerakan untuk meninggalkan itu.
Saat November aku selalu menantinya, menanti untuk kita merayakan 1/10 abad yang kita lalui, saat kita pernah merayakan hujan dengan jumlah volume yang sama. Kita menampungnya dalam sebuah wadah dan disitu benih kenangan hidup, Sekali waktu meminumnya saat musim kemarau.
Benih tak pernah menjadi, tak pernah menagih janjinya untuk menjadi dan tak pernah menagih sebab kehadirannya.
Yang menjadi hanya kenangan dan menanti secara terus menerus menjadi realitas.
Hidup memberikan pada benih kenangan akan makna.
Bulan November hujan akan selalu dirayakan, dengan cara spontan membuka baju, berlari bertelanjang dada dari sudut kampung ke sudut lainnya. Atau berdiam dalam sudut kamar, memandang dari balik jendela, menyentuh jendela yang telah berembun dan membaca pesan singkat kosong.
Siapa lagi yang akan dirindukan?
Saya hanya merindukan masa kanak-kanak.
Komentar
Posting Komentar